Oleh: Burhanudin
Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra
ABSTRACT
The competition in business would and the effect of globalization demand every organization to adaptate their business strategy including the strategy to explore the human resources. Every member of organization need to be trained and developing so they can have the highest ability and productivity in facing the dynamics of environmental changes.
These training and developing program have a strategic role in increasing the organizational performance and competitive advantage in business would. In order to achieve the organizations gool, these program must worked effectively, so we need more attention on how these phase for realization proceed. This paper want to give exact pictures on the realizations phase that needs to be done in training and developing, begin from the needs identification on training and developing, the programs preparation, the programs implementation, and the programs evaluation.
The training and developing program need to be integrated with every part of the organization and connected with organizations business strategy. With this program theres hope that every member of the organization could have the highest performance and competitive advantage.
Keywords: training & development human resources
PENDAHULUAN
Semua organisasi saat ini dihadapkan pada era globalisasi dan persaingan yang semakin ketat. Globalisasi akan terus berlanjut seiring dengan dinamika perubahan lingkungan. Dalam ekonomi global, barang, manusia, kemampuan/skill, dan ide bergerak bebas melintasi batas suatu negara. Untuk menyusun strategi dalam persaingan, organisasi perlu memperhatikan lingkungan internal dan eksternal yang akan berpengaruh dalam menentukan strateginya. Dalam lingkungan internal, sumberdaya dan kemampuan unik organisasi atau perusahaan merupakan sarana utama dalam meraih keunggulan persaingan. Salah satu sumberdaya yang dimiliki organisasi adalah sumberdaya manusia, yang perlu dilatih dan dikembangkan melalui pelatihan dan pengembangan (Michael A. Hitt et.al., 1997).
Sumberdaya manusia sebagai aset terpenting, memiliki peran strategis dalam menghadapi persaingan. Kualitas dan kompetensi anggota organisasi dapat dijadikan sebagai alat untuk meraih keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan membawa kesuksesan organisasi. Melalui pelatihan (training) dan pengembangan (development) secara efektif keunggulan kompetitif ini dapat diraih. Dalam lingkungan persaingan yang semakin ketat, program pelatihan dan pengembangan tidak lagi sebagai suatu pilihan, tetapi sudah merupakan suatu kebutuhan.
Pelatihan dan pengembangan perlu dikaitkan dengan strategi organisasi dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan. Perubahan strategi akan berdampak pada program pelatihan dan pengembangan. Dalam kenyataannya seringkali program ini masih terpisah dengan strategi organisasi karena line manager belum dipersiapkan. Bahkan ada beberapa organisasi yang menganggap biaya program ini sebagai cost, bukan sebagai investasi. Meskipun program pelatihan dan pengembangan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi lebih banyak manfaat yang dapat dipetik oleh organisasi.
Ada dua pandangan mengenai program pelatihan dan pengembangan ini. Pertama adalah value oriented statements, bahwa nilai-nilai yang kita pegang menjadi pedoman dalam perilaku, sehingga menjadi tanggungjawab moral manager untuk mengembangkan bawahannya. Kedua role oriented statements, yaitu adanya peraturan formal yang mewajibkan setiap karyawan harus mengikuti pelatihan dan pengembangan. Sementara banyak eksekutif puncak yang menganggap bahwa anggota organisasi merupakan sumber utama dalam meraih keunggulan bersaing, sehingga peran pelatihan dan pengembangan menjadi penting dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan pelatihan dan pengembangan, organisasi akan lebih cepat beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis dan lebih mampu bersaing.
PELATIHAN (TRAINING)
Sebelum kegiatan pelatihan dan pengembangan dilakukan, biasanya diawali dengan sosialisasi (socialization) atau orientasi. Sosialisasi adalah merupakan proses yang mengacu pada pengajaran budaya organisasi dan filsafat bagaimana melakukan usaha, termasuk bagaimana memahami dan menerima nilai-nilai, norma, dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi. Orientasi juga merupakan pelatihan yang ditujukan bagi karyawan baru terhadap pekerjaan mereka, rekan sekerja dan lingkungan organisasi. Orientasi membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh karyawan baru ketika pertama kali bergabung dengan organisasi. Karyawan membutuhkan informasi dasar tentang organisasi, seperti informasi mengenai kompensasi, jam kerja, dan dengan siapa dia harus bekerjasama. Orientasi juga membantu karyawan mempelajari sikap, standar, nilai-nilai, dan perilaku yang diharapkan oleh organisasi atau pimpinannya (Dessler, 1997).
Tujuan orientasi ini adalah untuk membantu para karyawan agar belajar mengenai organisasi secepat mungkin, sehingga dapat segera memberikan kontribusi pada organisasi. Orientasi akan mengurangi perasaan asing bagi karyawan baru, mengurangi rasa cemas, kuatir, membantu karyawan lebih cepat beradaptasi dengan organisasi, karyawan merasa lebih aman, dan karyawan merasa lebih diperhatikan (Handoko, 1995). Bagi organisasi orientasi memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk meningkatkan produktivitas karyawan, mengurangi tingkat turn over, dan pengenalan organisasi (Mathis & Jackson, 2002).
Pelatihan (training) merupakan proses sistematis yang bertujuan untuk mengubah perilaku karyawan agar sesuai dengan tujuan organisasi. Dalam pelatihan diciptakan suatu lingkungan dimana karyawan dapat mempelajari tentang sikap, kemampuan, skills, pengetahuan, dan perilaku tertentu yang berkaitan dengan suatu pekerjaan. Menurut Simamora (1997), pelatihan lebih fokus pada peningkatan keterampilan yang dibutuhkan saat ini atau yang akan segera muncul.
Menurut Mathis & Jackson (2002), pelatihan adalah proses dimana individu-individu atau karyawan mencapai kemampuan tertentu guna membantu pencapaian tujuan organisasi. Pelatihan menyediakan para karyawan pengetahuan yang spesifik, dapat diketahui dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan yang saat ini mereka hadapi. Pelatihan menyiapkan karyawan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan-pekerjaan sekarang. Jadi pelatihan adalah proses peningkatan kemampuan atau keterampilam karyawan agar dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan yang saat ini mereka hadapi.
Secara garis besarnya, pelatihan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu pelatihan internal (OJT/On the Job Training) dan pelatihan eksternal. Pelatihan internal yang sering digunakan adalah pelatihan informal, dimana terjadi interaksi dan umpan balik diantara karyawan. Dalam pelatihan informal ini karyawan belajar secara informal dari karyawan lain atau rekan kerjanya. Sedangkan untuk pelatihan eksternal muncul karena beberapa alasan, yaitu: (1) Biaya relatif lebih murah; (2) Organisasi tidak memiliki tenaga ahli di bidangnya; dan (3) Keuntungan dapat berinteraksi dengan manager atau karyawan dari perusahaan lain, karena karyawan bisa berbagi pengalaman dan berbagi informasi atau pengetahuan dengan orang dari organisasi lain (Mathis & Jackson, 2002). Program pelatihan sebaiknya direncanakan atau dirancang dengan tepat dan sistematis. Tahap-tahap utama dalam program pelatihan yaitu: (1) Analisis atau penilaian kebutuhan pelatihan; (2) Menentukan tujuan dan isi program pelatihan; (3) Identifikasi prinsip-prinsip belajar; (4) Implementasi program pelatihan; dan (5) Evaluasi program pelatihan (Mathis & Jackson, 2002; Siagian, 1997).
Menentukan Kebutuhan Pelatihan
Analisis kebutuhan pelatihan dapat bersumber dari analisis tugas dan analisis prestasi. Analisis tugas berkaitan dengan analisis kebutuhan pelatihan bagi karyawan baru, sedangkan analisis prestasi berkaitan dengan kebutuhan pelatihan bagi karyawan lama. Analisis tugas digunakan untuk mengidentifikasi jenis keterampilan yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan. Sementara itu analisis prestasi digunakan untuk melihat ada tidaknya kesenjangan atau penurunan prestasi, kemudian mencari solusinya apakah perlu diadakan pelatihan atau tidak (Dessler, 1997). Program pelatihan bertujuan untuk menutup gap/kesenjangan antara kebutuhan pekerjaan dan organisasi dengan kemampuan yang dimiliki karyawan. Penetapan tujuan ini nantinya akan digunakan untuk menilai keberhasilan program pelatihan tersebut.
Langkah awal dalam mengidentifikasi kebutuhan akan pelatihan adalah menentukan apakah nyata-nyata ada kebutuhan. Penilaian kebutuhan ini dapat dilakukan dengan menganalisis masalah-masalah yang dihadapi saat ini maupun tuntutan-tuntutan di masa depan. Ada tiga tingkatan analisis dalam training needs identification, yaitu analisis organisasi, analisis unit kerja dan analisis individu.
Dalam analisis organisasi, kebutuhan pelatihan sering muncul karena adanya perubahan strategi organisasi dan perubahan lingkungan yang harus direspon oleh organisasi. Program perlu dihubungkan dengan strategi organisasi, dimana strategi yang berbeda akan membutuhkan pelatihan dan pengembangan yang berbeda pula. Analisis organisasi dan identifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, and Treath).
Analisis unit kerja, biasanya diawali dengan proses pengumpulan informasi mengenai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan, termasuk team work dan kerjasama yang diperlukan dalam suatu pekerjaan. Dengan adanya berbagai tuntutan kebutuhan keterampilan, dan karakteristik lain dalam pekerjaan, maka perlu dilakukan program pelatihan.
Sedangkan analisis individu, berkaitan dengan adanya kesenjangan antara kemampuan karyawan dengan kebutuhan atau tuntutan pekerjaan. Perbedaan antara pengetahuan, keterampilam, dan sikap yang telah dimiliki oleh karyawan dengan kebutuhan pekerjaan, adalah merupakan salah satu alasan diperlukannya pelatihan (As’ad, 2000). Individu dilatih untuk memenuhi kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi dalam mengerjakan suatu tugas atau persyaratan dalam menduduki jabatan tertentu. Pendekatan yang dapat digunakan antara lain pengukuran output, kebutuhan pelatihan yang dinilai sendiri, dan survei sikap (Schuler & Jackson, 1996).
Menentukan Tujuan dan Isi Program
Tujuan pelatihan sebaiknya bersifat specific (rinci), dapat diukur (measurable), dapat dicapai (achievable), sesuatu yang mungkin terjadi (realistic), dan dalam waktu yang terbatas (time bound). Menurut Mathis & Jackson (2002), program pelatihan bertujuan untuk menutup gap/kesenjangan antara tuntutan pekerjaan dan organisasi dengan kemampuan yang dimiliki karyawan. Penetapan tujuan ini nantinya akan digunakan untuk menilai keberhasilan pelatihan tersebut. Tujuan pelatihan antara lain dapat berupa kuantitas pekerjaan, kualitas pekerjaan, batasan waktu kerja, dan efisiensi biaya.
Tujuan pelatihan dapat bersifat umum maupun khusus. Tujuan atau sasaran yang bersifat umum adalah: (1) Untuk meningkatkan kinerja/performance karyawan; (2) Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja; (3) Meningkatkan ketepatan dalam perencanaan sumberdaya manusia, khususnya kebijaksanaan promosi dari dalam; (4) Meningkatkan iklim dan moral kerja karyawan; (5) Meningkatkan keamanan dan kesehatan kerja; dan (6) Meningkatkan pertumbuhan pribadi karyawan, seperti meningkatkan kematangan kepribadian, intelektual, dan keterampilan kerja (As’ad, 2000).
Program pelatihan harus dapat mengintegrasikan antara kepentingan organisasi dan kepentingan karyawan. Program harus memiliki isi yang sama dengan tujuan belajarnya, biasanya tercantum dalam suatu kurikulum dan silabus. Menurut Schuler & Jackson (1996), isi program pelatihan harus disesuaikan dengan tujuan pelatihan, yaitu pengetahuan kognitif, hasil yang berdasarkan pada keahlian, dan hasil yang berpengaruh. Isi program akan memuat materi yang menjadi prioritas, yaitu materi yang harus ada, yang sebaiknya ada, dan materi tambahan atau pendukung. Program pelatihan sebaiknya berisikan pengetahuan kerja, keterampilan kerja, serta perubahan sikap dan perilaku.
Mengidentifikasi Prinsip-prinsip Belajar
Training pada dasarnya merupakan proses belajar (Dessler, 1997). Ada beberapa prinsip-prinsip belajar yang perlu diperhatikan agar tujuan program ini dapat tercapai. Pertama, partisipasi. Proses belajar diharapkan dapat berlangsung dengan cepat dan mudah diingat lebih lama karena adanya partisipasi. Kedua, repetisi. Informasi yang pernah diterima oleh peserta akan tersimpan didalam otaknya dan perlu diangkat kembali melalui pengulangan. Ketiga, relevansi. Suatu program akan berhasil apabila materi relevan dengan kebutuhan. Keempat, pengalihan. Akan terjadi apabila ada penerapan teori kedalam praktek nyata melalui simulasi. Terakhir, adalah umpan balik. Tujuan pelatihan dapat tercapai, apabila terjadi perubahan perilaku pada diri karyawan, adanya pengetahuan baru, dan tercapainya kompetensi atau keterampilan baru (Siagian, 1997).
Salah satu teori yang perlu diperhatikan dalam prinsip-prinsip belajar ini adalah social learning theory. Menurut Bandura (1977) yang dikutip oleh Black dan Mendenhall (1990), proses pembelajaran dipengaruhi oleh pemgamatan/observation dan pengalaman/experience. Sebagai sebuah premis sentral adalah bahwa individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk mengikat tindakan antisipatori, dimana mereka mengantisipasi tindakan dan hubungan konsekuensi-konsekuensi mereka. Hal ini membuat individu mampu untuk menentukan bagaimana mereka akan berperilaku sebelum situasi aktual. Individu akan belajar dari pengalaman dan konsekuensi perilaku yang mereka alami yang membentuk apa yang mereka pelajari sebagai perilaku masa depan mereka. Ada beberapa elemen dasar dari social learning theory, yaitu attention/perhatian, retention, reproduction, serta incentives dan proses-proses motivasional.
Implementasi Program Pelatihan
Implementasi berkaitan dengan siapa yang akan melaksanakan dan dimana program akan dilaksanakan. Pelaksanaan program dapat bersifat in house/in company, berupa on the job training atau off the job training, dan off house/off company, yaitu di luar perusahaan. Dalam pelaksanaan program pelatihan ada beberapa alternatif metode yang dapat digunakan, yaitu (Mathis & Jackson, 2002):
1. On the job training/pelatihan di tempat kerja. Bentuk pelatihan yang sering digunakan antara lain adalah pelatihan instruksi kerja. Atasan melatih karyawan untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu, sehingga karyawan tersebut memahami tugas atau pekerjaan yang harus mereka lakukan.
2. Simulasi. Salah satu jenis simulasi yang sering digunakan adalah vestibule training, yaitu suatu jenis pelatihan dengan menggunakan fasilitas khusus untuk mendeskripsikan suatu tugas atau pekerjaan yang harus dilakukan oleh karyawan.
3. Pelatihan kerjasama. Metode yang sering digunakan dalam pelatihan kerjasama ini adalah magang dan kerja praktik. Banyak organisasi yang menerapkan sistem magang bagi karyawannya. Magang dapat diselenggarakan dalam berbagai bentuk dan sifatnya situasional. Bentuk-bentuk magang antara lain: (1) Karyawan belajar dari karyawan lain yang lebih senior; (2) Coaching, yaitu seorang atasan mengajarkan cara melaksanakan pekerjaan secara benar kepada bawahannya, yang kemudian akan diduplikasi oleh bawahan tersebut; (3) Asistensi, yaitu karyawan baru dibimbing oleh atasan yang lebih senior untuk memahami tugas-tugas atasan tersebut, sebagai proses kaderisasi; dan (4) Penugasan karyawan untuk duduk dalam berbagai panitia yang dibentuk oleh organisasi, untuk meningkatkan keterampilan dan hubungan antar karyawan (Siagian, 1997). Magang merupakan bentuk pelatihan yang mengkombinasikan antara latihan kerja dengan materi yang didapatkan di dalam kelas, sedangkan kerja praktik merupakan bentuk pelatihan di tempat kerja dengan bimbingan seorang karyawan yang sudah berpengalaman.
4. Pelatihan dengan pengalaman perilaku/behaviorally experienced training. Jenis pelatihan ini antara lain role playing, permainan bisnis/ business game, pelatihan sensitivitas, pelatihan beragam, in basket, dan case study. Pelatihan ini lebih cenderung fokus pada pembentukan sikap, persepsi, dan masalah-masalah hubungan interpersonal.
5. Pelatihan bentuk konferensi dan di dalam kelas. Metode ini terdiri dari kursus-kursus singkat, ceramah di dalam kelas, diskusi dan pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh perusahaan.
Sedangkan Schuler & Jackson (1996), membagi metode pelatihan menjadi dua yaitu: (1) On the job training. Metode ini merupakan pelatihan sambil bekerja, dimana peserta training mempelajari keterampilan di dalam lingkungan kerja yang sesungguhnya. Metode ini terdiri dari rotasi jabatan, instruksi kerja, magang, coaching, dan penugasan sementara; (2) Off the job training. Dalam metode ini ada dua macam yaitu simulasi dan presentasi informasi. Metode simulasi meliputi, programmed instruction, videotape, videodisks, interactive video training, latihan komunikasi, studi kasus, role playing, business game, laboratory training, dan program-program pengembangan eksekutif. Sedangkan presentasi informasi lebih tepat untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan yang rumit atau khusus, dan dilakukan di tempat terpisah. Metode yang dapat digunakan adalah kursus-kursus formal, simulasi, pusat penilaian, role playing dan latihan sensitivitas, perjalanan di hutan berantara, self study, dan guided reading.
Jenis program dapat bersifat reguler seperti pra jabatan bagi calon pegawai negeri sipil dan remedial yaitu untuk menutup gap antara kemampuan karyawan dengan persyaratan pekerjaan yang dibutuhkan. Sedangkan sumber biaya dapat diambilkan dari overhead atau dari investasi. Biaya program ini sebaiknya dimasukkan sebagai investasi jangka panjang, dan jangan disamakan dengan komponen dari produksi lain seperti material, peralatan dan metode.
Evaluasi Program Pelatihan
Setelah program dilaksanakan, maka perlu diadakan evaluasi untuk menilai efektivitas program dan validitasnya, apakah isi program sudah sesuai dengan program training. Evaluasi program pelatihan dapat dilakukan dengan cara: (a) Analisis biaya keuntungan, yaitu membandingkan antara biaya pelatihan dengan keuntungan yang diperoleh organisasi; dan (b) Bencmarking, yaitu membandingkan satu organisasi dengan organisasi yang lainnya (Mathis & Jackson, 2002).
Menurut Tannenbaum & Woods (1992), ada tiga karakteristik penting dari strategi evaluasi ini, yaitu the magnitude of the evaluation, the research design employed, dan the training criteria collected. Ketiga karakteristik tersebut akan menentukan strategi evaluasi yang akan digunakan. Beberapa strategi alternatif yang dapat digunakan, antara lain: (1) No evaluation strategy; (2) Reaction only strategy; (3) Basic evaluation strategy; (4) Intermediate evaluation strategy; dan (5) Advanced evaluation strategy. Sementara itu Dessler (1997: 269), membagi empat kategori dasar dari pelatihan yang dapat diukur, yaitu reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil.
Dalam menentukan pilihan strategi evaluasi, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut terdiri dari change potensial, importance/criticalty, scale, purpose and nature of the training, organizational culture, expertise, cost, dan time frame. Metode lain untuk mengevaluasi program pelatihan yaitu dengan apa yang sering disebut CIRO, yaitu:
1) Contex evaluation, evaluasi terhadap individu, unit kerja, dan organisasi.
2) Input evaluation, Evaluasi terhadap komponen pengembangan yang terdiri dari materi dan metode yang digunakan.
3) Reaction evaluation, cocok (like) atau tidak cocok (dislike) terhadap kebutuhan, termasuk time and sequence.
4) Outcome evaluation, individu, unit kerja dan organisasi. Pertama, adalah immediate outcome atau hasil langsung. Kedua, intermediate outcome atau hasil antara. Dan ketiga, ultimate outcome yaitu efisiensi dan produktivitas organisasi/evaluasi hasil akhir.
PENGEMBANGAN (DEVELOPMENT)
Pengembangan (development) bersifat lebih luas cakupannya dan lebih memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna pada pekerjaannya sekarang maupun masa yang akan datang. Pengembangan merupakan usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan sifat-sifat kepribadian karyawan (Handoko, 1995). Pengembangan biasanya berkaitan dengan upaya organisasi untuk mempersiapkan karyawannya guna memikul tanggungjawab yang lebih tinggi dalam organisasi.
Pengembangan lebih mengacu pada peningkatan keterampilan dalam jangka panjang. Pengembangan sifatnya kurang pasti, sulit didefinisikan, dan lebih fokus pada aspek-aspek yang kurang terukur dari kinerja seperti sikap dan nilai. Pengembangan akan berhasil jika mendapatkan dukungan dari manager tingkat atas dan semua bagian dalam organisasi. Adapun tahap-tahap dalam proses pengembangan sumberdaya manusia (Mathis & Jackson, 2002):
1. Perencanaan sumberdaya manusia/human resources planning.
2. Kemampuan dan kapasitas yang diperlukan untuk menjalankan rencana tersebut.
3. Perencanaan suksesi.
4. Penilaian/analisis kebutuhan pengembangan sumberdaya manusia
5. Perencanaan pengembangan: organisasi dan individu.
6. Pendekatan/metode-metode pengembangan sumberdaya manusia: di tempat kerja atau di luar tempat kerja.
7. Evaluasi program pengembangan.
Proses belajar dan pengembangan terjadi selama masa kehidupan seseorang, yang sering dikenal dengan belajar seumur hidup. Pengembangan sumberdaya manusia akan membantu organisasi dalam meraih keunggulan kompetitif dalam tiga hal, yaitu (Mathis & Jackson, 2002): (1) Sumberdaya manusia yang berkembang akan mempunyai nilai ekonomis yang lebih positip bagi organisasi; (2) Kemampuan sumberdaya manusia akan memberikan kelebihan daripada pesaing atau kompetitor; dan (3) Kemampuan sumberdaya manusia tersebut tidak mudah ditiru oleh pesaing.
Penilaian Kebutuhan Pengembangan
Analisis kebutuhan pengembangan biasanya kurang mendapatkan perhatian dari organisasi. Analisis ini dapat bersumber dari kebutuhan individu maupun kebutuhan organisasi. Analisis kebutuhan ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh seorang individu dan bagaimana cara pengembangannya. Metode yang sering digunakan dalam analisis ini, antara lain assesment centre, test psikologi, dan penilaian kinerja. Program pengembangan biasanya juga dikaitkan dengan perencanaan suksesi dengan kebijaksanaan promosi dari dalam.
Pusat penilaian/assessment center merupakan sekumpulan instrumen dan latihan-latihan yang dirancang untuk mendiagnosis kebutuhan akan pengembangan individu. Dalam pusat penilaian seorang manager melakukan berbagai aktivitas seperti permainan peran, diskusi kelompok tanpa pemimpin, tes tertulis dan evaluasi rekan kelompok. Sementara itu pemeriksaan psikologis digunakan untuk menetapkan potensi dan kebutuhan pengembangan. Dari pemeriksaan psikologis ini dapat diketahui berbagai informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor motivasional, gaya kepemimpinan, minat, kemampuan analisis, dan pilihan pekerjaan. Metode analisis selanjutnya adalah penilaian pekerjaan, yang dapat dirancang sebagai sumber informasi pada kebutuhan akan pengembangan karyawan (Mathis dan Jackson, 2002).
Metode Pengembangan Sumberdaya Manusia
Program pengembangan sumberdaya manusia dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain (Mathis & Jackson, 2002):
1. Metode di tempat kerja, yang terdiri dari pembinaan (coaching), yaitu belajar sambil bekerja “learning by doing“, komite penugasan, rotasi pekerjaan, dan bertugas sebagai asisten manager. Kelebihan atau keuntungan maupun kelemahan metode di tempat kerja dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Keuntungan dan kelemahan metode di tempat kerja
Metode di Tempat Kerja | Keuntungan | Kelemahan |
a. Coaching | · Lebih bersifat natural dan berkaitan dengan tugas atau pekerjaan | · Sulit untuk mendapatkan pelatih atau pembina yang tepat/baik |
b. Komite penugasan | · Peserta terlibat dalam proses yang kritis | · Waktu tidak efisien |
c. Rotasi jabatan | · Memberikan gambaran terhadap tugas atau pekerjaan dalam organisasi | · Waktu memulai relatif lebih lama |
d. Asistensi | · Memberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan seniornya | · Terlalu singkat waktunya untuk penugasan yang bagus |
Sumber: Mathis & Jackson ( 2002)
2. Metode di luar tempat kerja, meliputi kursus-kursus, studi lanjut, pelatihan hubungan antar manusia, studi kasus, bermain peran, cuti panjang, dan pelatihan di luar ruangan. Metode ini menjadi efektif karena memberikan kesempatan kepada karyawan untuk sejenak meninggalkan tugas atau pekerjaannya, dan fokus pada program pengembangan. Disamping itu adanya interaksi antara karyawan dari berbagai organisasi memungkinkan mereka untuk bertukar pengalaman, pengetahuan, dan memberikan wawasan baru atau ide-ide baru. Adapun kelebihan dan kelemahan metode ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Keuntungan dan kelemahan metode di luar tempat kerja
Metode di Luar Tempat Kerja | Keuntungan | Kelemahan |
a. Kursus & studi lanjut bergelar | · Karyawan lebih mudah menerima, lebih dikenal dan status | · Belum tentu meningkatkan kinerja karyawan |
b. Pelatihan hubungan antar manusia | · Menangani berbagai keterampilan manajemen yang penting | · Sulit mengukur efektivitasnya |
c. Studi kasus | · Lebih praktis, peserta dapat terlibat belajar manajemen yang sebenarnya | · Kemungkinan informasi menjadi tidak kuat bagi beberapa pengambil keputusan |
d. Role playing | · Dapat mengubah sikap seseoramg dalam suatu interaksi interpersonal yang sulit | · Beberapa peserta pelatihan mungkin kurang nyaman |
e. Simulasi | · Lebih realisitik dan terintegrasi | · Bisa menjadi sebuah permainan yang kurang tepat |
f. Cuti panjang | · Menyegarkan dan mengembangkan pengetahuan karyawan | · Relatif mahal, karena karyawan mungkin kehilangan kontak dengan organisasi |
g. Pelatihan di luar ruangan | · Meningkatkan rasa percaya diri dan kerja kelompok | · Sifat alam berbahaya sehingga tidak tepat untuk semua peserta |
Sumber: Mathis & Jackson ( 2002)
Program pengembangan ini penting terutama dalam pengembangan manajemen. Faktor yang paling menentukan dalam pengembangan manajemen adalah pengalaman, karena lebih memiliki kontribusi pada pengembangan manajemen dan membuat manager semakin bernilai. Pembinaan secara efektif dan bimbingan dapat dilakukan untuk mencapai keberhasilan organisasi, namun permasalahan dalam pengembangan manajemen ini sering muncul karena lemahnya perencanaan dan koordinasi.
KESIMPULAN
Pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia memiliki peran yang strategis dalam meraih keunggulan kompetitif di era globalisasi dan persaingan bisnis yang semakin ketat dan penuh dinamika. Program ini perlu dihubungkan dan diintegrasikan dengan strategi bisnis agar mendukung pencapaian tujuan organisasi. Pelatihan lebih fokus pada peningkatan kemampuan atau keterampilan tertentu untuk melaksanakan pekerjaan yang saat ini dihadapi, sedangkan pengembangan lebih luas cakupannya dan lebih fokus pada peningkatan kemampuan baru yang berguna bagi pekerjaan sekarang maupun pekerjaan yang akan datang.
Agar pelatihan menjadi efektif, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan. Langkah-langkah dalam program pelatihan yaitu identifikasi kebutuhan pelatihan (training needs identification), merumuskan tujuan dan isi program, prinsip-prinsip belajar, implementasi program pelatihan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program. Penilaian kebutuhan pelatihan dapat dilakukan dengan menganalisis masalah-masalah yang dihadapi saat ini maupun tuntutan-tuntutan di masa yang akan datang. Ada tiga tingkatan analisis dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, yaitu analisis organisasi, analisis unit kerja dan analisis individu. Sedangkan penilaian kebutuhan pengembangan, antara lain dapat menggunakan metode assesment centre, test psikologi, dan penilaian kinerja. Program pengembangan karyawan seringkali dikaitkan dengan perencanaan suksesi dan kebijaksanaan promosi dari dalam.
Program pelatihan bertujuan untuk menutup kesenjangan/gap antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan organisasi dengan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan saat ini. Isi program pelatihan perlu disesuaikan dengan tujuan belajarnya, yaitu bisa pengetahuan kognitif, hasil yang didasarkan keahlian, dan hasil yang berpengaruh. Pelatihan pada dasarnya merupakan proses belajar karyawan. Agar proses berlajar ini dapat efektif, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatihan yaitu partisipasi, repetisi, relevansi, pengalihan, dan umpan balik/feedback. Sedangkan menurut social learning theory, individu akan belajar melalui proses pengamatan dan dari pengalaman.
Implementasi program pelatihan secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua metode yaitu on the job training dan off the job training. Sementara itu metode pengembangan dapat dilakukan di tempat kerja maupun di luar tempat kerja. Akhirnya, untuk menilai efektivitas dari pelaksanaan program maka perlu diadakan evaluasi. Dalam evaluasi ini ada berbagai alternatif strategi yang dapat digunakan, dan apabila terdapat beberapa kekurangan perlu diadakan revisi atau perbaikan.
DAFTAR REFERENSI
As’ad, Moh. 2000. Psikologi Industri. Edisi Keempat. Yogyakarta. Liberty
Black, J., S., & Mendenhall, M., 1990. Cross Cultural Training Effectiveness : A Review and a Theoritical Framework for Future Research. Academy of Management Review, 15(1): 113-136
Dessler, Gary. 1997. Manajemen Personalia: Teknik dan Konsep Modern (terjemahan). Edisi Ketiga. Jakarta. Erlangga
Handoko, Hani T. 1995. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta. BPFE
Mathis, Robert L. & Jackson, John H. 2002. Manajemen Sumberdaya Manusia (terjemahan). Edisi Pertama. Buku 2. Jakarta. Salemba Empat
Rainbird, H. 1994. The Changing Role of the Training Function; a Test for the Integration of Human Resources and Business Strategies. Human resources Management Journal, 5 (1): 72-90
Schuler, Randall S., & Jackson Susan E. 1996. Manajemen Sumberdaya Manusia: Menghadapi abad 21 (terjemahan). Edisi keenam. Jakarta. Erlangga
Siagian, Sondang, P. 1997. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta. Bumi aksara
Simamora, Henry. 1997. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta. Badan Penerbit STIE YKPN
Tannenbaum, S., I., & Woods, S., E. 1992. Determining a Strategy for Evaluation Training: Operating Within for Organizational Constraints. Human Resource Planning, 15 (2): 63-81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.